I.
DASAR
HUKUM KEUANGAN SEKTOR PUBLIK
A. Dasar Hukum Keuangan Negara
Wujud pelaksanaan keuangan negara
tersebut dapat diidentifikasikan sebagai segala bentuk kekayaan, hak, dan
kewajiban negara yang tercantum dalam APBN dan laporan pelaksanaannya.
Hak-hak Negara yang dimaksud, mencakup
antara lain :
|
Kewajiban negara adalah berupa
pelaksanaan tugas-tugas pemerintah sesuai dengan pembukaan UUD 1945 yaitu :
|
1. Hak
monopoli mencetak dan mengedarkan uang
2. Hak
untuk memungut sumber-sumber keuangan, seperti pajak, bea dan cukai
3. Hak
untuk memproduksi barang dan jasa yang dapat dinikmati oleh khalayak umum,
yang dalam hal ini pemerintah dapat memperoleh (kontra prestasi) sebagai
sumber penerima negara
|
1. Melindungi
segenap bangsa Indonesia dan seluuh tumpah darah Indonesia
2. Memajukan
kesejahteraan umum
3. Mencerdaskan
kehidupan bangsa
4. Ikut
melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi,
dan keadilan sosial
|
Pelaksanaan kewajiban atau
tugas-tugas pemerintah tersebut dapat berupa pengeluaran dan diakui sebagai
belanja negara. Dalam UUD 1945 Amandemen IV, secara khusus diatur mengenai
Keuangan Negara, yaitu pada BAB VIII pasal 23 yang berbunyi sebagai berikut :
1. Anggaran
pendapatan dan belanja ditetapkan setiap tahun dengan Undang-Undang. Apabila
Dewan Perwakilan Rakyat tidak menyetujui anggaran yang diusulkan Pemerintah,
maka Pemerintah menjalankan anggaran tahun lalu.
2. Segala
pajak untuk keperluan negara berdasarkan Undang-Undang
3. Jenis
dan harga mata uang ditetapkan dengan Undang-Undang
4. Hal
keuangan negara selanjutnya diatur dengan Undang-undang
5. Untuk
memeriksa tanggung jawab tentang keuangan negara diadakan suatu Badan Pemeriksa
Keuangan, yang peraturannya ditetapkan dengan Undang-Undang. Hasil pemeriksaan
itu diberitahukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat.
Berdasarkan
ketentuan tersebut diatas, ditetapkan Undang-undang tentang APBN untuk tahun
anggaran bersangkutan. Penyusunan APBN bukan hanya untuk memenuhi ketentuan
konstitusional yang dimaksud pada pasal 23 ayat (1) UUD 1945, tetapi juga
sebagai dasar rencana kerja yang dilaksanakan oleh pemerintah dalam tahun
anggaran yang bersangkutan. Oleh karena itu, penyusunannya didasarkan atas
Rencana Strategi dalam UU Propenas, dan pelaksanaannya dituangkan dalam UU yang
harus dijalankan oleh Presiden/Wakil Presiden dan Menteri-menteri serta pimpinan
Lembaga Tinggi Negara Lainnya.
B. Dasar Hukum Keuangan Daerah
Berdasarkan
pasal 18 UUD 1945, tujuan pembentukan daerah otonom adalah meningkatkan daya
guna penyelenggaraan pemerintah untuk melayani masyarakat dan melaksanakan
program pembangunan. Dalam rangka penyelenggaraan daerah otonom, menurut
penjelasan pasal 64 Undang-undang No. 5 tanhun 1974, fungsi penyusunan APBD
adalah untuk :
1. Menentukan
jumlah pajak yang dibebankan kepada Rakyat Daerah yang bersangkutan
2. Mewujudkan
otonomi yang nyata dan bertanggung jawab
3. Memberi
isi dan arti kepada tanggung jawab pemerintah daerah umumnya dan kepala daerah
khususnya, karena anggaran pendapatan dan belanja daerah itu menggambarkan
seluruh kebijaksanaan pemerintah daerah
4. Melaksanakan
pengawasan terhadap pemerintahan daerah dengan cara yang lebih mudah dan
berhasil guna.
5. Merupakan
suatu pemberian kuasa kepada kepala daerah untuk melaksanakan penyelenggaraan
Keuangan Daerah didalam batas-batas tertentu
II.
AKUNTANSI
SEKTOR PUBLIK MEMASUKI ERA DESENTRALISASI
Kebijakan
desentralisasi telah mengubah sifat hubungan antar pemerintah pusat dengan
pemerintah daerah, antara BUMN dengan Pemerintah Pusat; antar Pemerintah dengan
masyarakat, dan berbagai entitas lain dalam pemerintahan. Perananan laporan keuangan telah berubah dari
posisi administrasi semata menjadi posisi akuntabilitas di tahun 2000.
Pergeseran peranan laporan keuangan ini telah membuka peluang bagi posisi
akuntansi sektor publik dalam manajemen pemerintahan dan organisasi sektor
publik lainnya. Jadi tujuan akuntansi sektor publik adalah untuk memastikan
kualitas laporan keuangan dalam pertanggungjawaban publik.
Sebagai perspektif
baru, berbagai prasarana akuntansi sektor publik perlu dibangun, seperti:
a.
Standar Akuntansi Sektor Publik untuk
Pemerintahan Pusat, Pemerintahan Daerah, dan organisasi sektor publik lainnya
b.
Account
Code
untuk Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, maupun organisasi sektor publik
lainnya, dimana review terhadap transaksi yang berkaitan dapat dilakukan dalam
rangka konsolidasi dan audit
c.
Jenis Buku Besar yang menjadi pusat
pencatatan data primer atas semua transaksi keuangan pemerintah
d.
Manual sistem Akuntansi Pemerintahan dan
Organisasi lainnya yang menjadi pedoman atas jenis-jenis transaksi dan
perlakuan akuntansinya
Dengan kelengkapan
prasarana tersebut, para petugas dibidang akuntansi dapat melakukan pencatatan,
peringkasan, dan pelaporan keuangan, baik secara manual maupun komputasi.
Akibat tidak tersedianya prasaran diatas, muncul persepsi bahwa :
a.
Akuntansi adalah sesuatu yang sulit
b.
Akuntansi harus dikerjakan oleh SDM yang
terdidik dalam jangka waktu panjang.
III.
REGULASI
YANG TERKAIT DENGAN AKUNTANSI SEKTOR PUBLIK
A.
Regulasi
Akuntansi Sektor Publik di Era Pra Reformasi
Perjalanan
akuntansi sektor publik di era pra reformasi didasari pada UU Nomor 5 Tahun
1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah. Pengertian daerah dalam era
pra reformasi adalah daerah tingkat I yang meliputi propinsi dan daerah tingkat
II yang meliputi kotamadya atau kabupaten. Disamping itu,ada beberapa peraturan
pelaksanaan yang diturunkan dari perundang-undangan,antara lain:
1. Peraturan
Pemerintah Nomor 5 Tahun 1975 tentang Pengurusan, Pertanggungjawaban, dan
Pengawasan Keuangan Daerah
2. Pemerintah
Pemerintah Nomor 6 Tahun 1975 tentang Penyusunan APBD, Pelaksanaan Tata Usaha
Keuangan Daerah, dan Penyusunan Perhitungan APBD
3. Keputusan
Menteri Dalam Negeri No. 900-099 Tahun 1980 tentang Manual Administrasi
Keuangan Daerah
4. Peraturan
Menteri Dalam Negeri No. 2 Tahun 1994 tentang Pelaksanaan APBD
5. Undang-Undang
Nomor 18 Tahun 1997 tentang pajak Daerah dan Retribusi Daerah
6. Keputusan
Mendagri Nomor 3 Tahun 1999 tentang Bentuk dan Susunan Perhitungan APBD
B.
Regulasi
Akuntansi Sektor Publik di Era Reformasi
Reformasi
politik di Indonesia telah mengubah sistem kehidupan negara. Tuntutan good governance diterjemahkan sebagai
terbebas dari tindakan KKN. Pemisahan kekuasaan antareksekutif, yudikatif, dan
legislatif dilaksanakan. Selain itu, partisipasi masyarakat akan mendorong
praktik demokrasi dalam pelaksanaan akuntabilitas publik yang sesuai dengan
jiwa otonomi daerah.
Undang-Undang
Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 25
tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah adalah dua
undang-undang yang berupaya mewujudkan etonomi daerah yang lebih luas. Sebagai
penjabaran otonomi daerah tersebut di bidang administrasi keuangan
daerah,berbagai peraturan perundangan yang lebih operasional dalam era
reformasipun telah dikeluarkan. Beberapa regulasi yang relevan antara lain :
1. Undang-Undang
Nomor 28 tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bebas Dari Korupsi,
Kolusi, dan Nepotisme (Lembaga Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 75,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3851)
2. Peraturan
pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah Dan Kewenangan
Provinsi Sebagai Daerah Otonom (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000
Nomor 54, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3952)
3. Peraturan
Pemerintah Nomor 104 Tahun 2000 tentang Dana Perimbangan
4. Peraturan
Pemerintah Nomor 105 Tahun 2000 tentang Pengelolaan dan Pertanggungjawaban
Keuangan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 202,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4022)
5. Peraturan
Pemerintah Nomor 107 Tahun 2000 tentang Pinjaman Daerah
6. Peraturan
Pemerintah Nomor 108 Tahun 2000 tentang Tata Cara Pertanggungjawaban Kepala
Daerah
C. Paradigma Baru Akuntansi Sektor
Publik di Era Reformasi
Paradigma
baru dalam “Reformasi Manajemen Sektor Publik” adalah penerapan akuntansi dalam
praktik pemerintah guna mewujudkan good
governance. Landasan hukum pelaksanaan reformasi tersebut telah disiapkan
oleh Pemerintah dalam suatu Paket UU Bidang Keuangan Negara yang terdiri dari
UU Keuangan Negara, UU Perbendaharaan Negara, dan UU Pemeriksaan Tanggung Jawab
Keuangan Negara yang pada saat ini telah disahkan oleh DPR.
Terdapat
empat prinsip dasar pengelolaan keuangan negara yang telah dirumuskan dalam 3
Paket UU Bidang Keuangan Negara tersebut, yaitu :
1. Akuntabilitas
berdasarkan hasil atau kinerja
2. Keterbukaan
dalam setiap prinsip transaksi
3. Pemberdayaan
manajer profesional
4. Adanya
lembaga pemeriksa internal yang kuat, profesional, dan mendiri serta
dihindarinya duplikasi dalam pelaksanaan pemerintahan
Prinsip-prinsip
tersebut sejalan dengan prinsip-prinsip desentralisasi dan otonomi daerah yang
telah ditetapkan dalam Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan
Daerah dan Undang-Undang No. 25 Tahun Perimbangan Keuangan antara Pemerintah
Pusat dan Daerah. Dengan demikian, pelaksanaan tiga UU Bidang Keuangan Negara
tersebut nantinya, selain menjadi acuan dalam pelaksanaan reformasi manajemen
pemerintah, diharapkan akan memperkokoh landasan pelaksanaan desentralisasi dan
otonomi daerah di NKRI.
Paradigma
baru regulasi Akuntansi Sektor Publik
1. UU
No. 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara
2. UU
No. 1 Tahun 2004 Tentang Perbendaharaan Negara
3. UU
No. 15 Tahun 2004 Tentang Pemeriksaan Pengelolaan Keuangan Negara
4. UU
No. 25 Tahun 2004 Tentang Sistem Perencanaan dan Pembangunan Nasional
5. UU
No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah
6. UU
No. 33 Tahun 2004 Tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan
Daerah
7. PP
No. 24 Tahun 2005 Tentang Standar Akuntansi Pemerintahan
8. PP
No. 71 Tahun 2010 Tentang Standar Akuntansi Pemerintahan
D.
Peraturan
Pemerintah Nomor 71 Sebagai Regulasi Terkini di Indonesia
Dalam
UU 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara pasal 1 angka 13, 14, 15, dan 16,
dapat dilihat bahwa definisi pendapatan dan belanja negara/daerah berbasis
akrual karena disana disebutkan bahwa : Pendapatan negara/daerah dalah hak
pemerintah pusat/daerah yang diakui sebagai penambah nilai kekayaan bersih dan
Belanja negara/daerah adalah kewajiban pemerintah pusat/daerah yang diakui
sebagai pengurang nilai kekayaan bersih. Namun kita diperkenankan untuk
transisi karena saat itu praktik yang ada adalah dengan menggunakan basis kas,
dimana pendapatan dan belanja diakui saat uang masuk/keluar ke/dari kas umum
negara/daerah. Dispensasi ini tercantum dalam Pasal 36 ayat 1 UU 17 Tahun 2003
yang intinya ketentuan mengenai pengakuan dan pengukuran pendapatan dan belanja
berbasis akrual dilaksanakan selambat-lambatnya dalam 5 (lima) tahun, artinya
sampai dengan tahun 2008. Untuk masa transisi itulah PP 24 tahun 2005 tentang Standar Akuntansi
Pemerintah terbit, dimana kita memakai basis Kas Menuju Akrual (Laporan
Realisasi Anggaran berdasarkan basis kas, Neraca berdasarkan basis Akrual).
Dalam pelaksanaan PP 24 Tahun 2005
tersebut hingga Laporan Keuangan Pemerintah tahun 2008 selesai diaudit di tahun
2009, ternyata opini yang didapat pemerintah saat itu masih menyedihkan. Untuk
itulah, Pemerintah akhirnya berkonsultasi dengan Pimpinan DPR, dan disepakati
bahwa basis akrual akan dilaksanakan secara penuh mulai tahun 2014.
Pada
tahun 2010 terbit PP 71 tahun 2010 tentang Standar Akuntansi Pemerintah sebagai
pengganti PP 24 tahun 2005. Diharapkan setelah PP ini terbit maka akan diikuti
dengan aturan-aturan pelaksanaannya baik berupa Peraturan Menteri Keuangan
untuk pemerintah pusat maupun Peraturan Menteri Dalam Negeri untuk pemerintah
daerah. Ada yang berbeda antara PP 71 tahun 2010 ini dengan PP-PP lain. Dalam
PP 71 tahun 2010 terdapat 2 buah lampiran. Lampiran I merupakan Standar
Akuntansi Pemerintah berbasis Akrual yang akan dilaksanakan selambat-lambatnya
mulai tahun 2014, sedangkan Lampiran II merupakan Standar Akuntansi Pemerintah
berbasis Kas Menuju Akrual yang hanya berlaku hingga tahun 2014. Lampiran I
berlaku sejak tanggal ditetapkan dan dapat segera diterapkan oleh setiap
entitas (strategi pentahapan pemberlakuan akan ditetapkan lebih lanjut oleh
Menteri Keuangan dan Menteri Dalam Negeri), sedangkan Lampiran II berlaku
selama masa transisi bagi entitas yang belum siap untuk menerapkan SAP Berbasis
Akrual. Dengan kata lain, Lampiran II merupakan lampiran yang memuat kembali
seluruh aturan yang ada pada PP 24 tahun 2005 tanpa perubahan sedikit pun.
Perbedaan
mendasar dari sisi jenis laporan keuangan antara Lampiran I dan Lampiran II
adalah sebagai berikut:
Lampiran
I
Ø Laporan
Anggaran (Budgetary Reports): Laporan Realisasi Anggaran, Laporan Perubahan
Saldo Anggaran Lebih
Ø Laporan
Keuangan (Financial Reports): Neraca, Laporan Operasional, Laporan Perubahan
Ekuitas, Laporan Arus Kas, dan Catatan atas Laporan Keuangan
Lampiran
II
Ø Laporan
terdiri dari Neraca, Laporan Realisasi Anggaran, Laporan Arus Kas, dan Catatan
atas Laporan Keuangan
Dengan
perbedaan jenis Laporan Keuangan yang akan dihasilkan, otomatis penjelasan pada
setiap Pernyataan Standar Akuntansi Pemerintahan (PSAP) yang terkait dengan
masing-masing Laporan Keuangan akan mengalami perubahan.
Perbedaan
daftar isi pada Lampiran I dan Lampiran II adalah sebagai berikut:
Lampiran
I
Ø Kerangka
Konseptual Akuntansi Pemerintahan
Ø PSAP
Nomor 01 tentang Penyajian Laporan Keuangan;
Ø PSAP
Nomor 02 tentang Laporan Realisasi Anggaran Berbasis Kas;
Ø PSAP
Nomor 03 tentang Laporan Arus Kas;
Ø PSAP
Nomor 04 tentang Catatan atas Laporan Keuangan;
Ø PSAP
Nomor 05 tentang Akuntansi Persediaan;
Ø PSAP
Nomor 06 tentang Akuntansi Investasi;
Ø PSAP
Nomor 07 tentang Akuntansi Aset Tetap;
Ø PSAP
Nomor 08 tentang Akuntansi Konstruksi Dalam Pengerjaan;
Ø PSAP
Nomor 09 tentang Akuntansi Kewajiban;
Ø PSAP
Nomor 10 tentang Koreksi Kesalahan, Perubahan Kebijakan Akuntansi, Perubahan
Estimasi Akuntansi, dan Operasi yang Tidak Dilanjutkan;
Ø PSAP
Nomor 11 tentang Laporan Keuangan Konsolidasian.
Ø PSAP
Nomor 12 tentang Laporan Operasional.
Lampiran
II
Ø Kerangka
Konseptual Akuntansi Pemerintahan
Ø PSAP
Nomor 01 tentang Penyajian Laporan Keuangan;
Ø PSAP
Nomor 02 tentang Laporan Realisasi Anggaran;
Ø PSAP
Nomor 03 tentang Laporan Arus Kas;
Ø PSAP
Nomor 04 tentang Catatan atas Laporan Keuangan;
Ø PSAP
Nomor 05 tentang Akuntansi Persediaan;
Ø PSAP
Nomor 06 tentang Akuntansi Investasi;
Ø PSAP
Nomor 07 tentang Akuntansi Aset Tetap;
Ø PSAP
Nomor 08 tentang Akuntansi Konstruksi Dalam Pengerjaan;
Ø PSAP
Nomor 09 tentang Akuntansi Kewajiban;
Ø PSAP
Nomor 10 tentang Koreksi Kesalahan, Perubahan Kebijakan Akuntansi, dan
Peristiwa Luar Biasa;
Ø PSAP
Nomor 11 tentang Laporan Keuangan Konsolidasian;
Kedua
daftar isi hampir serupa karena memang kebijakan yang diambil oleh Komite
Standar Akuntansi Pemerintah saat mengembangkan Standar Akuntansi Pemerintahan
berbasis akrual ini adalah dengan beranjak dari PP 24 tahun 2005 yang kemudian
dilakukan penyesuaian-penyesuaian terhadap PP 24 tahun 2005 itu sendiri. Dengan
strategi ini diharapkan pembaca PP 71 tahun 2010 nantinya tidak mengalami
kebingungan atas perubahan-perubahan tersebut karena lebih mudah memahami
perubahannya dibandingkan jika langsung beranjak dari penyesuaian atas
International Public Sector of Accounting Standards (IPSAS) yang diacu oleh
KSAP.
IV.
Barang dan Jasa Publik
A.
Barang dan Jasa Publik vs Barang dan Jasa Swasta
Barang publik
adalah barang kolektif yang seharusnya dikuasai oleh Negara atau pemerintah.
Sifatnya tidak eksklusif dan diperuntukkan bagi kepentingan seluruh warga dalam
skala yang luas, dan dapat dinikmati warga secara gratis, misalnya udara
bersih, air bersih, dan lingkungan yang
aman. Sedangkan barang swasta adalah barang spesifik yang dimiliki oleh pihak
swasta. Sifatnya eksklusif dan hanya bias dinikmati oleh mereka yang mampu
membelinya, karena harganya disesuaikan dengan harga pasar menurut
penjual,yaitu harus untung sebesar-besarnya,misalnya perumahan mewah, villa,
dan hotel. Dan ada juga setengah kolektif yang dimiliki oleh swasta atau
pemilik gabungan antara swasta dan pemerintah. Seharusnya barang ini tidak
boleh bersifat eksklusif, dan pemerintah harus ikut menentukan harga
penjualannya, yang biasanya tidak terjangkau oleh rakyat kecil, misalnya
sekolah dan rumah sakit.
B. Konsep-Konsep Pokok Barang dan Jasa
Publik
Suatu barang
dikategorikan sebagai barang ‘swasta’ atau ‘publik’ dalam kaitannya dengan
tingkat excludability dan persaingannya. Tingkat excludablity suatu barang
ditentukan dengan kondisi dimana konsumen dan produsen barang atau pelayanan
bisa memastikan bahwa orang lain tidak memperoleh manfaat dari barang/pelayanan
tersebut. Jika suatu barang memiliki daya saing yang tinggi, barang tersebut
dipergunakan secara perorangan ; apabila daya saingnya rendah, barang tersebut
dapat dimanfaatkan secara bersama-sama. Contoh taman umum daya saingnya rendah,
sedangkan ‘ipod’ daya saingnya tinggi.
1. Secara
umum, barang publik memiliki tingkat excludability dan daya saing yang rendah.
Ini berarti bahwa jika barang itu diproduksi, barang tersebut dapat
dipergunakan oleh banyak orang. Barang publik ini dimanfaatkan oleh banyak
orang, sehingga umumnya dibiayai dari dana publik.
2. Barang
swasta adalah barang yang punya excludability dan daya saing tinggi.
Orang-orang yang memanfaatkanya jelas, sehingga mudah dikenakan biaya.
3. Barang
yang excludable, tetapi daya saingnya rendah disebut toll goods. Contohnya sperti
jalan tol.
4. Barang
yang berdaya saing tinggi, tetapi non-excludable, disebut common pool goods.
Contohnya adalah pengadaan air disebuah desa; meskipun termasuk barang yang
non-excudable, namun penggunaannya secara berlebihan akan mengurangi kesempatan
bagi orang lain untuk menggunakannya.
C.
Penyedia
Pelayanan
Barang atau pelayanan
yang dibiayai secara publik dapat dikontrakkan kepada sektor swasta misalnya,
penggunaan kontraktor swasta dalam pembangunan lapangan terbang, atau
sebaliknya misalnya sekolah pemerintah menerima pembayaran dari orang tua murid
dalam bentuk pemakai pelayanan. Setor swasta mempunyai kecendrungan bekerja
lebih efisien dan efektif karena :
1. Sektor
swasta memiliki fleksibilitas dalam pengolahan sumber daya sehingga permintaan
pasar dapat ditanggapi.
2. Persaingan
pelayanan mendorong lebih baiknya mutu pelayanan dengan harga yang lebih murah
bagi pelanggan.
D.
Kebijakan
Pengadaan Barang dan Jasa Publik
Pusat Pengembangan Kebijakan Pengadaan Barang dan
Jasa Publik mempunyai tugas mengkaji, menyiapkan perumusan kebijakan,
perencanaan kebijakan pengadaan barang/jasa nasional, serta melaksanakan
sosialisasi, pemantauan dan penilaian atas pelaksanaannya. Dalam melaksanakan
tugasnya, Pusat Pengembangan Kebijakan Pengadaan Barang dan Jasa Publik
menyelenggarakan fungsi:
1. penyiapan
dan perumusan kebijakan dan sistem pengadaan nasional
2. penyiapan
dan perumusan kebijakan pengembangan dan pembinaan sumber daya manusia di
bidang pengadaan
3. pelayanan
bimbingan teknis, pemberian pendapat dan rekomendasi, serta koordinasi
penyelesaian masalah di bidang pengadaan
4. pengembangan
sistem informasi nasional di bidang pengadaan
5. pengawasan
pelaksanaan pelayanan pengadaan barang/jasa dengan teknologi informasi
6. melaksanakan
sosialisasi, pemantauan, dan penilaian pelaksanaan kebijakan dan sistem
pengadaan nasional
V.
ETIKA
PENGELOLAAN KEUANGAN PUBLIK
Pihak member
amanah (principal) percaya bahwa pihak pemegang amanah (agent) mempunyai
“kapasitas” yang menandai untuk menjalankan amanah yang didelegasikan. Makna
kapasistas disini hanya dilihat dari kompetensi pada bidang kerja, tetapi juga
dilihat dari perilaku etis. Perilaku etis nampaknya sangat menunjang
kepercayaan para partner dan teman kerja.
Etika
sering hanya dilihat dari segala sesuatu yang terwujud (tangible). Di tengah
masyarakat yang masih mempercayai symbol-simbol (symbols, tanda-tanda
(signals), dan berbagai bentuk aksesoris fisik lain, satandar etika amat
diperlukan untuk menetukan perilaku etis.
Etika bisnis adalah bagaimana tindakan atau
perbuatan yang dapat dikatagorikan sebagai etis atau tidak etis. Dalam banyak
pembahasan tentang teori etika, para ahli filosofi umumnya menitikberatkan pada
etika secara umum daripada etika dari suatu kelompok kecil, misalnya profesi
dan bidang pekerjaan tertentu. Berbagai tulisan yang dibuat oleh para ahli
filsafat sering jadikan acuan atau pedoman untuk memahami nilai rasionalisasi
suatu sikap dan perbuatan yang disebut etis. Berikut ini adalah beberapa
pemikiran dari para filsafat mengenai etika :
1.
Socrates
Beliau berpendapat bahwa semua pengetahuan
(knowledge) dari seseorang itu sebetulnya bersifat baik dan menjunjung
nilai-nilai kebijakan. Tanpa didukung pengetahuan, seseorang tidak mungkin
dapat melakukan perbuatan-perbuatan yang berbudi luhur.
2.
Hume
Beliau berpendapat bahwa perilaku seseorang
(personal merit) yang beretika sebenarnya mempunyai beberapa nilai kualitas
karakter dan kepribadian yang bermanfaat dan diterima baik oleh orang lain
maupun dirinya sendiri.
3.
John
Beliau berpendapat bahwa kebenaran, perilaku
etis, dan prinsip moral seseorang sebenarnya tidak dibawa sejak lahir. Berbagai
pedoman etika bisa diperoleh melalui suatu persepsi dan konsepsi. Ia juga
mengemukakan bahwa hukum (law) merupakan sebuah kriteria untuk memutuskan
apakah suatu perbuatan itu baik atau buruk. Tiga tipe dari hukum ini yaitu :
divine law (hukum yang berkaitan dengan Ketuhanan), civil law (hukum yang
berlaku di masyarakat), law of opinion and reputation (hukum yang berhububgan
dengan opini dan reputasi).
4.
Kant
Beliau berpendapat bahwa pentingnya standar formal sebagai pedoman
umum untuk menilai perilaku seseorang. Tetapi ia tidak setuju dengan perilaku
etis ini dibentuk dari suatu tekanan (hukum) yang disertai hukuman tertentu.
Dalam menyikapi
pro-kontra terhadap suatu perbuatan, pengkategorian perilaku etis sebaiknya
berpedoman pada etika umum, antara lain : pengetahuan (knowledge), kesadaran
akan hidup bermasyarakat, respek terhadap divine law (hukum yang berkaitan
dengan Ketuhanan), memahami bahwa suatu pekerjaan membutuhkan
pertanggungjawaban, menyadari bahwa norma dari perilaku etis yang diakui
masyarakat berlaku untuk semua jenis pekerjaan apapun.
VI.
KEDUDUKAN DAN PERAN PEMERINTAH DALAM MEMPERBAIKI KUALITAS
PELAYANAN PUBLIK
Semua masyarakat
memiliki hak yang sama atas jaminan sosial dan ekonomi dari pemerintah sebagai
konsekuensi langsung atas pembayaran pajak yang telah dipenuhi. Kebijakan dan
regulasi yang ditetapkan pemerintah bisa berimbas pada bidang yang lain.
Pemerintah mempunyai peran menentukan kualitas tingkat kehidupan masyarakat
secara individual.
Peningkatan
kualitas pelayanan publik dapat diperbaiki melalui perbaikan manajemen kualitas
jasa, yakni upaya meminimasi kesenjangan antara tingkat layanan dengan harapan
konsumen. Kinerja organisasi layanan publik harus diukur dari outcome-nya,
karena outcome merupakan variabel kinerja yang mewakili misi organisasi dan
aktivitas oprasional, baik aspek keuangan dan nonkeuangan. Dalam penentuan
outcome sangat perlu untuk mempertimbangkan dimensi kualitas (Mardiasmo 2007). Selanjutnya,
monitoring kinerja perlu dilakukan untuk mengevaluasi pelayanan publik dalam
memenuhi kebutuhan masyarakat.
Langkah-langkah
penting dalam monitoring kinerja organisasi layanan publik antara lain :
mengembangkan indikator kinerja yang mengembangkan pencapaian tujuan
organisasi, memaparkan hasil pencapaian tujuan berdasarkan indikator kinerja
diatas, mengidentifikasi apakah kegiatan pelayanan sudah efektif dan efisien
sebagai dasar pengusulan program perbaikan kualitas pelayanan.
Sumber :
Bastian,
Indra. Akuntansi Sektor Publik : Suatu Pengantar. 2005.Erlangga : Jakarta
Mardiasmo.
Akuntansi Sektor Publik. Edisi IV. 2009. Andi:Yogyakarta
Fafaahmad.wordpress.com/2011/05/15/pp-no-71-tahun-2010-tentang-standar-akuntansi-pemerintahan/
(Diakses pada tanggal 15 September pukul 17.00 WITA)
1 komentar:
thanks ....
Posting Komentar